KASIH
SEPANJANG JALAN MAGELANG
Di stasiun
kereta api bawah tanah Yogya, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat.
Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. November ini
memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar hujan masih
turun dengan lebat sejak kemarin. Magelang tahun ini terselimuti kabut tebal,
menyimpan segenap pemandangan.
Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi.
Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah
perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku
masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu
sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh
kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di villaku. Tidak banyak
beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu rindu dan
ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski
sebentar, kak". Aku mengeluh perlahan
membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim faiq setelah
beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya.
Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu
seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada
ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi
murung ketika aku mengungkapkan rencana perjalananku ke Yogya itu.
Aku
tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Agro Bomo yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu
seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat
setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta
mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan
hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan
melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang
penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak,
kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam
ingatanku.
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat
seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang
terentang. Aku menatap ke luar. Hujan yang masih saja turun menghalangi
pandanganku. Tumpukan kabut menyembunyikan segenap penjuru
Aku ingin mencium tangan ibu....
Di luar hujan semakin deras, semakin aku tak bisa melihat
pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran kabut yang putih. Juga
semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap
sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri
sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau
berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa
buatku.
Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa
kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusanboarding-pass.
Tiga jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu
seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku.Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat
aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada
penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada.
Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya
membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti
gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Magelang belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu
ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Magelang seperti kembali ke
masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu
selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah
membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama
kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku.
Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu,
rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara
tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada
satu yang berubah, ibu...
Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah
senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu rindu tidak berdaya. Aku
berlutut disisi duduknya, "Ibu...aku datang, bu..", gemetar bibirku
memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika
kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu meneteskan
air mata dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya.
Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap
rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan
derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa.
"Maafkan aku, Bu.." ucapku
berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua tak akan bermakna tanpa kasih
sayang dari ibu.
***
Tiada yang lebih indah tanpa senyuman dan kasih seorang ibu,,,,so hormatilah ibu dan ayahnu,,,
BalasHapusterutama gurumu yang telah mengantarkanmu ke jalan masa depanmu